Ketika aku masih muda...

Ketika aku berusia muda, aku telah berpikir hendak mengubah dunian ini, menjadi lebih baik.

Ketika aku dewasa, maka aku telah belajar dan berusaha membuat aturan untuk memaknai hidup ini, yang dapat mengubah semua orang dari kesesatan ke jalan yang benar.

Namun semua usaha baik itu sia-sia belaka dan tidak seorang pun yang telah berubah olehnya.

Akhirnya setelah saya mulai tua saya menyadari bahwa sesungguhnya aku telah berjalan terlalu jauh dan ternyata akulah yang sesat itu.
Mengapa? Karena terlambat aku sadari bahwa segalah sesuatu tidak dapat mengubah orang lain. Namun yang pasti adalah bahwa aku dapat mengubah diriku sendiri sejak saat ini.

Ketika aku membaca artikel "Tapal Batas Tafsir Bebas", dibawah ini, aku menjadi teringat kembali masa laluku itu. Aku kembali menjadi ragu-ragu, apa benar orang lain itu sesat atau aku.
Ciao, Yuswar.





NASIONAL
[ GATRA Printed Edition ]

Tapal Batas Tafsir Bebas

"MUI wajib bersih dari unsur aliran sesat dan pendangkal akidah!" Gemuruh tepuk tangan spontan meriuhkan Istana Ballroom Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Kamis siang pekan silam. Kalimat itu adalah penggalan salah satu item draf rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibacakan dalam sidang pleno.

Bila diringkas, perhatian utama pembahasan munas yang berlangsung Selasa hingga Jumat pekan lalu itu memang bermuara pada dua tema besar itu: aliran sesat dan pendangkalan akidah. Aliran sesat secara eksplisit merujuk pada Ahmadiyah yang tengah disorot dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Keduanya dinilai meresahkan masyarakat.

"MUI mendesak pemerintah menindak tegas munculnya ajaran sesat dan membubarkannya karena meresahkan masyarakat, seperti Ahmadiyah, LDII," demikian bunyi lengkap rekomendasi itu. Sedangkan isu pendangkalan akidah terang-terangan dinisbatkan pada Jaringan Islam Liberal. "MUI supaya melakukan kajian ktitis terhadap Jaringan Islam Liberal dan sejenisnya yang berdampak pendangkalan akidah."

Dengan sedikit masukan dari peserta kiri-kanan, pimpinan sidang, Prof. Dr. Din Syamsuddin, tanpa proses berbelit lantas mengesahkan rekomendasi itu. Spirit bahasan komisi rekomendasi ini sejatinya masih satu tarikan napas dengan rumusan Komisi Fatwa yang sudah disahkan lebih dahulu. Isi rekomendasinya bernada mengawal implementasi fatwa yang juga banyak menyorot tema aliran sesat dan pendangkalan akidah tadi.

Produktivitas Komisi Fatwa pada munas ini terbilang tinggi. "Biasanya munas hanya mengeluarkan lima fatwa," kata Hasanuddin, Sekretaris Komisi Fatwa. Munas VII ini mampu menelurkan sampai 11 fatwa. Sorotannya banyak pada tema-tema yang kerap diusung para pemikir liberal-pluralis.

Mulai wacana paradigmatik semacam liberalisme, pluralisme, dan sekularisme agama. Hingga tema-tema furu'iyah semacam kawin beda agama, waris beda agama, imam perempuan, dan doa bersama lintas agama. Status kesesatan Ahmadiyah pun makin ditegaskan. MUI tidak memenuhi tuntutan sebagian masyarakat agar mencabut fatwa sesat, tapi malah menambahi status murtad dan mewajibkan pemerintah untuk membubarkannya.

Ada pula tema lain di luar agenda pertarungan pemikiran. Yakni fatwa tentang hukuman mati, hak atas kekayaan intelektual, pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum, dan kriteria maslahat.

MUI berfatwa bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Islam haram mengikuti ketiga paham tersebut. Bukankah pluralisme adalah fakta keragaman, di mana haramnya? "Jangan samakan pluralisme dan pluralitas," kata KH Ma'ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa.

Kalau realitas keberagaman, menurut MUI, adalah pluralitas. Sedangkan pluralisme adalah paham bahwa semua agama sama benarnya dan kebenaran setiap agama adalah relatif. "Paham ini bisa mendangkalkan akidah," ujar Ma'ruf. Liberalisme didefinisikan sebagai pandangan yang memenangkan akal atas nash Al-Quran dan sunah. Sedangkan sekularisme diartikan sebagai pemisahan agama dan urusan dunia.

Anggota Komisi Fatwa, Prof. KH Ali Mustofa Yaqub, menandaskan, fatwa ini jangan dipahami bahwa Islam eksklusif. "Islam itu inklusif sekaligus eksklusif," kata guru besar ilmu hadis itu. "Inklusif dalam hal muamalah, interaksi sosial, tetapi Islam itu eksklusif dalam hal ibadah dan akidah."

Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar-Abdalla, menilai definisi MUI tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme terlalu sederhana. "Memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama jelas menggelikan."

Menurut Ulil, definisi umum sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama dan kekuasaan negara. Negara sekuler artinya negara yang tidak dikuasai ulama seperti Iran yang mengenal konsep wilayat al faqih (kekuasaan kaum ulama). "Sekularisme tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam ruang publik," katanya.

Sekularisme, menurut Ulil, pada dasarnya menghendaki agar negara bersikap netral dalam urusan kepercayaan penduduknya. Negara harus netral, tidak boleh berpihak pada satu agama dan mendiskriminasi agama lain. Negara netral adalah terjemahan dari prinsip la ikraha fil al-din (tak ada paksaan dalam beragama). "Sekularisme dalam pengertian ini justru sangat baik," kata mantan santri KH Sahal Mahfudh, Ketua Umum MUI, itu.

Soal liberalisme, kata Ulil, Islam liberal memang menganjurkan pendekatan rasional dalam memahami teks agama yang berhubungan dengan aspek muamalah. "Pendekatan rasional tidak aneh dalam tradisi intelektual Islam," katanya. Ia mencontohkan filsuf besar Islam yang juga ahli fikih, Ibn Rusyd.

Dalam bukunya, Fashl al-Maqal fi Tahqiqi Ma Baina al-Shari'ati wa al-Hikmati min al-Ittishal, Ibnu Rusyd mengatakan, jika kebenaran agama dan kebenaran rasional bertentangan, maka kebenaran agama harus ditakwil atau ditafsirkan. "Ibn Rusyd adalah seorang liberal-rasional. Apakah dia sesat?" tanya Ulil. "Liberalisme agama mungkin bertentangan dengan 'Islam', tetapi Islam dalam tanda kutip, sebagaimana dipahami MUI. MUI bukanlah wakil resmi dan satu-satunya kebenaran dalam Islam."

Meski mengharamkan dan menyesatkan sebuah pandangan, MUI tampaknya lebih lunak menyikapi tindak lanjutnya. Ini berbeda dengan Forum Ulama Umat Indonesia pimpinan KH Athian Ali, yang sampai mengeluarkan fatwa mati untuk penganut Islam liberal pada Desember 2002.

Bahkan memberi vonis murtad pada pengikut liberalisme pun MUI belum bisa. "Belum, ha, ha, ha..., kan tidak boleh sekaligus," kata KH Ma'ruf Amin. "Sementara ini kami nyatakan tidak boleh mengikuti paham itu. Ini fase awalnya berstatus haram, baru nanti tancapnya belakangan, ha, ha, ha...," ujar kiai yang kaya humor itu.

Sikap serupa dikenakan pada Ahmadiyah, sekalipun sudah difatwa murtad. Dalam fikih klasik, sanksi pidana murtad adalah hukuman mati. Tapi, menurut Ma'ruf, MUI belum menganut pandangan itu. Memang ada pandangan kontemporer, seperti pakar hukum Islam asal Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na'im, bahwa sanksi mati bagi orang murtad untuk konteks modern sudah tidak relevan.

Meski Ahmadiyah dinyatakan murtad, misalnya, MUI tak membenarkan adanya aksi sweeping dan main hakim sendiri. "Dengan status murtad, arah sikap kita adalah lebih mendorong untuk ruju' ilal haq, kembali kepada kebenaran," kata Ma'ruf. "Jadi, semangatnya edukatif dan persuasif. Kita lebih merangkul. Tapi hukumnya tetap murtad," Rais Syuriyah PBNU itu menambahkan.

Persoalan eksekusi, menurut KH Didin Hafiduddin, yang mengikuti sidang Komisi Fatwa, bukanlah urusan lembaga fatwa. Misalnya, mereka yang berstatus murtad dan sesat mau diapakan? Diusir? Dibubarkan? "Keputusan fatwa itu tidak eksekutorial, beda dengan putusan pengadilan," katanya. "Peran fatwa adalah memberikan pendapat hukum. Eksekusi di tangan pemerintah."

Dalam literatur hukum Islam, posisi produk fatwa memang tidak mengikat. Statusnya sama dengan hasil ijtihad individual. Ia hanya mengikat bagi pihak yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik ada dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori hukum pada umumnya.

Walaupun bersifat merangkul dan menolak kekerasan, fatwa MUI mengundang reaksi dari berbagai pihak. Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Jumat lalu menutup sejumlah tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah di wilayah itu. Antara lain Masjid An-Nur, tujuh musala, dan satu gedung pertemuan Fadhal Umar. Menurut Kepala Kantor Departemen Agama Kuningan, penutupan itu merupakan hasil kesepakatan antara muspida dan pemimpin Jemaat Ahmadiyah Kuningan.

Reaksi yang berlawanan datang dari Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Jumat siang lalu, mereka menggelar konferensi pers di kantor PBNU, Jakarta Pusat. Acara yang dipandu Ulil itu menghadirkan KH Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo (Muhammadiyah), Syafii Anwar (International Centre for Islam and Pluralism), Anand Krishna, Weinata Sairin (Protestan), Djati Kusuma (kelompok Sunda Wiwitan), Djohan Efendi (Indonesian Conference on Religion and Peace), dan wakil Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia.

Gus Dur menolak sekeras-kerasnya pelarangan Ahmadiyah. "Ini bukan negara Islam. Ini adalah negara nasional," kata Ketua Dewan Syura PKB itu. "Yang berlaku ukuran-ukuran nasional, bukan ukuran-ukuran Islam." Menurut Gus Dur, kalau MUI ingin membuat aturan tertentu internal umat Islam, terserah saja. "Dipercaya orang apa tidak, kita lihat nanti saja gimana?" ujarnya. Tetapi yang tidak bisa ia terima adalah apabila MUI ingin memaksakan kehendak kepada pemerintah sehingga dapat memasung kebebasan.

Di Indonesia, kata Gus Dur, yang berhak mengatakan benar atau tidak adalah Mahkamah Agung. "Saya minta masyarakat tidak mendengarkan pendapat MUI, melainkan menunggu pendapat Mahkamah Agung," paparnya. Gus Dur juga minta Mahkamah Agung segera bersidang mengenai masalah ini. Djohan Effendy, Sekretaris Negara zaman Gus Dur, menambahkan, "Pemerintah harus bisa menjamin, jangan sampai orang dikejar-kejar karena kepercayaannya."

Fatwa-fatwa MUI itu, di mata Syafii Anwar, Direktur International Centre for Islam and Pluralism, menunjukkan telah terjadi pelanggaran kebebasan beragama sangat serius di Indonesia. "Ini sebuah kemunduran luar biasa," ujar Syafii. Pluralisme, menurut Syafii, bukanlah menyamakan semua agama, melainkan lebih pada mutual respect, saling menghormati. "MUI hendaknya tidak menjadi polisi akidah atau polisi iman bagi umat Islam di Indonesia," Syafii menegaskan.

Pernyataan paling keras dilontarkan Dawam Rahardjo. "Saya beranggapan, yang sesat itu, ya, majelis ulama itu," katanya. "Majelis ulama itu adalah sebuah aliran sesat karena membuat fatwa-fatwa yang tidak masuk akal." Bola panas Dawam ini langsung disambut Gus Dur. "Kalau MUI ngotot tidak mau memperbaiki, saya usulkan dana yang diberikan pemerintah kepada MUI dicabut," ujar Gus Dur, disambut tepuk tangan hadirin.

Dalam soal liberalisme pemikiran, fatwa MUI itu bisa dibaca sebagai klimaks akomodasi atas rangkaian gerakan anti-liberal yang mengemuka di berbagai forum. Terakhir, saat Muktamar Muhammadiyah di Malang, Juni lalu. Dalam sidang Komisi D tentang rekomendasi, muncul tuntutan untuk membubarkan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Jaringan ini memang sering dipandang sebagai simpul liberalisme pemikiran di kalangan anak muda Muhammadiyah.

Tidak hanya itu isyarat kuatnya arus anti-liberal dalam muktamar organisasi yang dikenal moderat ini. Gagalnya Prof. Dr. Amin Abdullah dan Prof. Abdul Munir Mulkhan dalam 13 besar pimpinan Muhammadiyah, oleh berbagai kalangan anak muda Muhammadiyah, juga dibaca sebagai pertanda kuatnya resistensi pada liberalisme. Karena dua tokoh itu banyak memayungi arus kebebasan berekspresi di Muhammadiyah.

Bila dirunut terus ke belakang, fenomena serupa mengemuka dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) IV di Jakarta. Banyak pendapat yang mengisyaratkan kekhawatiran serius pada model pemikiran Islam liberal. Sampai muncul tudingan bahwa draf materi keputusan KUII telah disusupi oleh pikiran-pikiran Islam liberal. Karena draf itu menolak formalisasi syariat Islam.

Islam liberal seolah ditempatkan sebagai bahaya laten dan musuh bersama. Dalam sidang masalah aktual bidang agama KUII, KH Cholil Ridwan (kini Ketua MUI) dan Prof. Ali Mustafa Yaqub menyebut JIL sebagai Jaringan Iblis Liberal. Ada lagi: Jaringan Iblis La'natullah. Tebaran istilah ini menggambarkan tingginya resistensi mereka pada pikiran Islam liberal. Bahkan, ketika tahap perumusan hasil KUII, KH Hasyim Yahya, seorang peserta asal Surabaya, meminta agar tim perumus dibebaskan dari unsur Islam liberal.

Nuansa serupa mengemuka dalam Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004. KH Mas Subadar, seorang kiai berpengaruh asal Pasuruan, Jawa Timur, melontarkan peringatan yang mirip-mirip, "Bersihkan pengurus NU dari unsur Islam liberal." Suasana yang mirip meski redup juga tumbuh dalam Muktamar Pemikiran NU di Situbondo, Oktober 2003.

Bila pada forum-forum sebelumnya resistensi pada arus Islam liberal cenderung sekadar rekomendasi, maka MUI telah memberinya muatan agama lewat kemasan fatwa. Tapi fatwa harus ditempatkan proporsional sebagai sekadar pendapat hukum yang tidak mengikat. Kritik keras atas fatwa itu adalah sah. Sama sahnya dengan produksi fatwa itu sendiri. Ini kontestasi wacana yang biasa saja dalam sejarah pemikiran Islam.

Asrori S. Karni dan Alfian
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 38 Beredar Senin, 1 Agustus 2005]
URL: http://www.gatra.com/2005-08-03/versi_cetak.php?id=86961

Anda pengunjung ke:

by autoren-gedichte.de

No comments:

Post a Comment