Menemukan Mutiara

Setelah menyelesaikan artikel "Sukar Merasa Bahagia" terasa masih ada sesuatu yang mengganjal di hati. Sepertinya belum mendapatkan 'dessert' setelah menyelesaikan 'the main course'. Sepertinya belum ngopi atau merokok setelah menikmati makanan yang lezat dan pedas.

Kemudian sekilas saya teringat kata-kata Mother Theresa, dan saya sungguh tak ingat persis kata-katanya itu - dan agak segan pula untuk mencarinya - yang intinya: "Pada akhirnya, masalah apapun yang engkau hadapi, sebenarnya bukanlah masalah antara engkau dengan orang atau keadaan tersebut, melainkan antara engkau dengan Tuhan."

Kembali kepada tulisan de Mello, kata-kata itu dapat disejajarkan dengan mengatakan masalah apapun yang menjadi "mimpi buruk" yang membuat engkau tidak berbahagia pada intinya yang paling dalam adalah masalah relasi engkau dengan Tuhanmu (apakah beres atau bermasalah). Mimpi buruk itu adalah "attachment" atau keterikatan yang menjadi beban kronis yang tidak perlu. Dengan "detachment" atau "kenosis" orang mengosongkan atau membebaskan dirinya dari beban batin yang berat tersebut.

Dengan kata-kata Mother Teresa itu menjadi jelas kata-kata Yesus yang mengundang manusia memasuki relasi dengan Dia: "Marilah kepadaKu semua yang berbeban berat..." dan menyerahkan beban itu ke bawah kaki salibNya. Beban itu akan disatukan dengan korban salib sehingga akhirnya menjadi ringan: "kuk yang Kupasang itu enak" artinya tidak menyakitkan dan "bebanKu pun ringan"...

Mengapa beban batin yang berat dan kuk yang menyakitkan bahu itu terasa ringan dan enak saat kita memasuki dimensi illahi yaitu dalam relasi dengan Tuhan? Karena Tuhan meminta kita untuk memindahkan beban itu dari hati kita kepada salibNya. Alih-alih kita terus memikulnya maka beban itu diambil alih oleh Tuhan. Kita diminta untuk "melepaskan beban" itu dan 'what's that supposed to mean?'... apa makna kata-kata itu?

Bila kita bermasalah dengan seseorang, seperti marah, kesal, benci, curiga, sakit hati, dendam, maka makna melepaskan beban "mimpi buruk" itu berarti dengan memaafkan orang tersebut. Kedua, kemudian dengan mendoakan orang itu. Inilah inspirasi reflektif daripada sabda Yesus sendiri pada saat tergantung di kayu salib pada detik-detik menjelang akhir hayatNya: "Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya."

Ya, mereka memang benar-benar tidak tahu, karena merekapun dibius oleh "mimpi buruk" mereka masing-masing. Mereka mengira dengan melakukan perbuatan yang menyakitkan kita itu mereka akan mencapai kepuasan yang secara keliru diidentikkan dengan kebahagiaan.

Para imam dan imam agung itu pun yakin bahwa Yesus yang penghujat Allah itu harus dimatikan supaya kemurnian agama Yudaisme tidak ternoda oleh kemusyrikan. Bagi mereka lebih baik satu orang mati buat semua daripada semuanya binasa karena ajaran sesat orang itu.

Maka kitapun semakin dapat mengerti mengapa seorang radikalis fanatik mampu membunuh sesama 'atas nama agama' karena terbius oleh mimpi akan memperoleh nikmat surga bila mereka melaksanakan "tugas mulianya" itu dengan sebaik-baiknya.

Tuhan memberi amanat melalui doa Bapa Kami bahwa kita harus mengampuni sesama supaya kita berhak (entitled) memperoleh pengampunan dari Tuhan. Kata "seperti" mempunyai konotasi "get equal" atau "quid pro quo" yaitu untuk mendapat A engkau harus memberi B. Bila B tidak diberi maka A pun tidak bisa diperoleh. Ini transaksi yang sangat legal atau sah secara hukum. Just that simple! Betapa sederhananya!

Maukah kita terbebas dari beban yang menghimpit hati kita? Harganya ialah kita harus mengampuni orang dan situasi buruk yang menyakitkan kita. Atau dengan kata yang lebih sederhana ialah untuk mulai menerima orang atau keadaan buruk itu "sebagai apa adanya" tanpa penghakiman apapun (kesal, sedih, benci, takut) dari pihak kita. Kita dikecewakan oleh pasangan hidup kita, maka terimalah dia "apa adanya" seperti dulu pertama kali bertemu dan menerima dia seperti "apa adanya". Kita terhimpit dan merasa sengsara karena mengidap penyakit kronis yang tidak kunjung sembuh, terimalah keadaan itu "apa adanya" dan angkat ke dimensi illahi yang lebih tinggi ke salib Tuhan dan stop "menyayangi" penyakit tersebut dengan terus membahasnya kepada siapapun yang kita jumpai. "Kamu tidak tahu sih, saya kan kena DB, gula saya di atas 300 dsb," itu itu saja yang dibahas kepada siapapun yang dijumpai.

Kisah Si Anak Hilang dari Lukas itu juga memberikan jawaban yang jelas mengenai 'metanoia' si anak durhaka tersebut. Ia mengalami kesusahan yang luar biasa. Anak kaya manja yang biasa hidup dan makan enak, harus mengalami keadaan terhina, menjadi budak dan harus survive dengan mencuri dan makan pakan babi. Jadi derajatnya telah jatuh sedemikian rupa sehingga hanya sejajar dengan babi saja! Ia sadar bahwa masalahnya bukan masalah "makan pakan babi" (itu hanya akibat) karena sumber masalahnya ialah "pemutusan relasi" dengan bapanya. Itulah titik awal mula segala penderitaannya - setelah sejenak menikmati masa berfoya-foyanya. Ia sadar bapaknya tidak pernah tega memperlakukan orang-orangnya sebagai budak, atau sampai memaksa mereka mencuri makanan babi karena tidak diberi upah cukup atau konsumsi. Maka ia memutuskan untuk "memperbaiki relasi" dirinya dengan bapanya, bahkan at all cost, termasuk "tidak dianggap sebagai anak" melainkan sebagai "pekerja upahan" saya. Ia tidak yakin bapanya akan mengampuninya, tetapi masih ada setitik harapan untuk diterima sebagai pekerja. Bagi dirinya itu sudah cukup karena pasti tidak akan kelaparan atau harus mencuri makan pakan babi. Dengan keyakinan dan tekad bulat itu ia "kembali kepada bapanya." Suatu metanoia memang!

Dan di sinilah kita menyaksikan bahwa hukum ini bersifat timbal balik. Begitu mereka yang berada di dimensi yang lebih rendah mengangkat masalahnya kepada pihak yang memiliki dimensi rohani yang lebih tinggi, maka masalah itu langsung menjadi lebur. Mengapa? Karena siapapun yang memiliki dimensi rohani yang lebih tinggi tidak mungkin untuk "tidak memaafkan". Just impossible! Kalau ia tidak memaafkan maka ia justru turun dan "get even" dengan orang yang dimensi rohaninya lebih rendah itu. Itu baru bicara soal relasi antara sesama manusia, bagaimana lagi dengan rekonsiliasi dengan Tuhan. Tuhan tidak mungkin untuk tidak mengampuni manusia, tetapi soalnya apakah manusia itu sendiri sudah berubah melakukan metanoia untuk mengampuni sesama dan juga mengampuni dirinya sendiri. Banyak lho orang yang bisa mengampuni kekurangan orang lain, tetapi sangat sukar mengampuni kesalahan-kesalahannya sendiri dari masa lampaunya.

Di samping kita melihat hukum tak terlelakkan bahwa orang yang minta ampun pasti diampuni oleh pihak dengan dimensi rohani yang lebih tinggi kita juga melihat hal lain. Kita melihat bahwa si Bapa anak hilang itu justru mulai dengan memulihkan status anak durhaka itu menjadi anak. Ia diberi baju, kasut dan cincin, semuanya perlambang sebagai anak dan bukan budak. Di sini kita belajar bahwa 'pengampunan' itu memiliki nilai spiritual yang lebih tinggi dari pembalasan dendam, apalagi 'hukum taurat' yang bersifat 'get equal' atau 'vindikatif". "Mata ganti mata, gigi ganti gigi". "Noli me tangere." (jangan sentuh aku). "Engkau menyerang aku, engkau aku habisi". Sama sekali tidak ada toleransi, sama sekali tidak ada pengampunan; yang ada hanya iri hati, dengki, dan nafsu membalas dendam.

Mutiara yang hilang itu ialah menemukan kebenaran bahwa "kebahagiaan hanya ada bila manusia selalu mau berdamai dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan dirinya sendiri." "Carilah dulu Kerajaan Allah, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu."

Kerajaan Allah itu ada di dalam 'sacrosactum' yang paling dalam di dalam batin manusia di mana Tuhan yang immanen menjadikannya sebagai kenisahNya, karena di sana hanya ada kedamaian dan cinta kasih sejati. Bila manusia mau 'diving inward' menuju 'sakristi pribadi' itu maka di sana ia pasti menemukan Sang Juru Selamat, yaitu Sumber Segala Kebahagiaan. Dan setiap orang mempunyai sakristi itu di dalam hatinya yang terdalam.

Persoalan terakhir ialah bagaimana caranya menyelam ke dalam 'inner sanctum' tersebut? Awal Mazmur telah membuka rahasianya: 'yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN dan yang merenungkannya siang dan dalam.." Kata kunci bukan terletak pada Taurat tetapi pada kata "merenungkannya" siang dan malam. Artinya terus menerus -setiap saat menggali dan menghayati inspirasi dari firman Tuhan. "Tansah eling" demikian falsafah Kejawen, "zen meditating" demikian falsafah Buddhist Jepang. Semuanya merujuk kepada kearifan spiritual yang sama dengan senantiasa eling kepada firman Tuhan, dalam hal ini memelihara relasi yang baik dan benar dengan Tuhan, sesama (lingkungan) dan diri sendiri, manusia dapat terus menjaga 'kontinuum' kebahagiaannya.

Mang Iyus (yang lagi mendem)

No comments:

Post a Comment